Senin, 28 April 2008

Buruh Migran Indonesia di Hong Kong: Naikkan Upah, Hapuskan Pajak, Tingkatkan Pelayanan KJRI

Jakarta (29/4)—Peringatan May Day juga akan dirayakan oleh buruh-buruh migrant Indonesia yang saat ini bekerja di Hong Kong dan Macau. Enny Lestari, Juru bicara PILAR menyatakan, May Day 2008 ini BMI menuntut naikkan upah, hapuskan pajak, dan tingkatkan pelayanan KJRI.


Ditemui di Jakarta pada saat diskusi terbuka Krisis Pangan dan Energi yang diselenggarakan Front Perjuangan Rakyat di Gedung YTKI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin (28/4), Enny Lestari yang juga ketua Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia di Hong Kong (ATKI-HK) mengatakan, tuntutan ini merupakan respon atas nasiknya harga-harga kebutuhan pokok, baik yang terjadi di Hong Kong dan Macau maupun yang terjadi di tanah air.

Apalagi, pendapatan buruh-buruh migran Indonesia khususnya adalah salah satu topangan ekonomi yang paling utama bagi keluarga-keluarganya di Indonesia. “Harga-harga naik berarti biaya hidup juga naik, untuk itu, upah juga harus ikut naik,” tegas Enny.

Kebijakan pemotongan upah terhadap pekerja, termasuk pekerja rumah tangga asing, di Hong Kong dilakukan sejak tahun 2003. Kebijakan ini dilakukan untuk menyikapi kelesuan ekonomi yang melanda Hong Kong pada saat itu. Namun sejak 2004, perekonomian Hong Kong sebenarnya sudah relatif pulih yang ditunjukkan dengan dihapuskannya kebijakan potongan upah bagi pekerja Hong Kong. Hanya saja, putusan penghapusan pajak bagi buruh migrant masih belum dilakukan.

Besarnya potongan upah buruh migrant mencapai 400 dollar Hong Kong atau setara dengan Rp 420 ribu. ATKI bersama Asian Migrant Coordinating Body (AMCB)—aliansi serikat-serikat buruh migrant dari beberapa negara Asia seperti Thailand, Srilangka, Filipina, Nepal, dan Indonesia—telah secara gencar melancarkan aksi protes sejak keluarnya keputusan tersebut.

Aksi protes ribuan buruh migrant Asia saat itu berhasil memaksa pemerintah Hong Kong menaikan upah buruh pembantu rumah tangga asing, namun dilakukan secara berangsur. Tuntutan ini, menurut Enny, telah mulai dilancarkan PILAR bersama Asian Migrant Coordinating Body (AMCB) pada saat peringatan Hari Perempuan Pekerja se-Dunia awal Maret 2008 lalu.

Solidaritas Buruh

Tuntutan kenaikan upah dan penghapusan pajak yang diajukan ATKI dan serikat-serikat buruh lain di Hong Kong, akan disampaikan bersama-sama dengan serikat-serikat buruh setempat. Hal ini ditujukan untuk mengentalkan solidaritas sesama buruh, baik buruh lokal maupun buruh migran.

“Kami menyadari bahwa mayoritas majikan-majikan buruh-buruh migran adalah pekerja-pekerja menengah-rendah di Hong Kong yang juga anggota serikat buruh dan sudah pasti berkepentingan dengan kenaikan upah,” jelas Enny. Dengan aksi tersebut, solidaritas buruh internasional sebagai makna terpenting peringatan May day, bisa diwujudkan dalam bentuk-bentuk aksi yang lebih praktis.

Hanya saja, Enny menyesalkan masih adanya sikap anti-orang asing (xenophobia) dari beberapa kalangan di Macau. Hal ini menyulitkan ATKI untuk melakukan aksi terbuka di Macau yang juga berkepentingan dengan kenaikan upah dan peningkatan layanan KJRI Hong Kong. Selain menghimbau agar sikap xenophobia itu segera dihilangkan, Enny menyatakan bahwa pihaknya menyadari bahwa sikap ini sesungguhnya bukanlah cermin dari sikap para pekerja. “Kesadaran itu hakikatnya berasal dari para kapitalis-monopoli yang berada di Macau, yang mempropagandakan kesadaran itu untuk memecah persatuan buruh se-dunia,” tandas Enny.

“Kawan-kawan Macau akan turut merayakan May Day 2008, namun dalam bentuk-bentuk yang sederhana dan serba terbatas. Keadaan tersebut barangkali juga dilakukan oleh buruh-buruh migrant Indonesia yang saat ini masih belum menikmati hak kebebasan berserikat di negara tempatnya bekerja,” ulas Enny.


Pelayanan KJRI Hong Kong

Selain menuntut kenaikan upah dan penghapusan pajak yang diajukan bersama serikat-serikat buruh lokal kepada pemerintah Hong Kong, BMI juga menuntut peningkatan pelayanan KJRI Hong Kong. “KJRI Hong Kong masih belum sensitif dan responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan dan tuntutan para buruh migran Indonesia,” kata Enny.

“Selama ini kami giat melakukan kampanye yang mendesak agar pemerintah melalui KJRI Hong Kong memberikan pelayanan proaktif kepada buruh-buruh migran Indonesia. Kami mendesak agar KJRI membuka kantornya pada hari minggu secara penuh, tidak mempersulit atau memperpanjang pengurusan paspor, dan memberikan kemudahan-kemudahan dalam berbagai layanan keimigrasian,” tegas Enny.

Karena terikat dengan ketentuan kontrak kerja yang mewajibkan BMI bekerja selama enam hari per minggu, secara konkret waktu yang tersedia bagi BMI untuk mengurus berbagai masalah-masalah yang berhubungan dengan KJRI hanyalah satu hari, yakni hari minggu. Bila KJRI tidak membuka layanan pada hari minggu atau hanya membuka tiga jam layanan pada hari tersebut, tentu saja tidak akan mampu menampung berbagai masalah yang menimpa BMI.

Alih-alih memenuhi tuntutan BMI, sekretaris I Protokol dan Konsuler KJRI Hong Kong Sukmo Yuwono—sebagaimana diberitakan Tabloid Suara edisi (25/4)—justru mengancam akan menutup layanan tiga jam kerja pada hari minggu. “Kami tidak habis pikir, mengapa pemerintah bisa bersikap seperti demikian?” tandas Enny.

Akibat dari buruknya pelayanan KJRI, banyak BMI yang terpaksa meninggalkan pekerjaannya karena overstay atau karena terlambat mengurus paspor. Selain merugikan BMI, keadaan ini juga sangat menguntungkan agensi karena semakin banyak BMI yang dideportasi semakin cepat rotasi pekerja yang pada akhirnya mempertinggi pundi-pundi keuntungan agensi.

Selaku WNI, BMI sesungguhnya mempunyai hak dan konsulat terikat pada kewajiban konstitusional untuk memberikan pelayanan penuh kepada seluruh warganya. “Sikap KJRI Hong Kong semakin menguatkan dugaan tentang karakter pemerintah Indonesia yang memang tidak berpihak pada rakyat, khususnya kaum pekerja termasuk BMI,” tandas Enny.***





Tidak ada komentar: